Perjuangan Melawan Lupa
Tragedi 27 Juli
Para petinggi PDI Perjuangan mungkin
kini telah melupakannya. Pun pemerintah tak lagi berhasrat mengungkapnya. Namun
bagi orang-orang yang dini hari itu berjaga di Kantor DPP Partai Demokrasi
Indonesia, pasti tak akan bisa menghapus kenangan kelam itu dari benak mereka.
Pagi itu, 27 Juli 1996, Jakarta belum sepenuhnya bangkit dari tidur, namun
kegaduhan telah telah terjadi di Jalan Diponegoro, tempat partai banteng itu
berkantor.
Mungkin 300, mungkin pula 400 orang
yang semalaman berjaga di kantor itu bertahan dengan gigih menghadapi penyerbu
yang entah datang dari mana. Seperti halnya orang-orang yang berjaga di
Diponegoro, para penyerbu itu juga beratribut PDI. Para penyerang itu memang
mengaku sebagai orang-orang Suryadi — lawan Megawati di internal PDI. Namun
dari kemampuan berkelahi mereka yang nampak terlatih, dengan mudah bisa diterka
dari mana sesungguhnya mereka berasal.
Hari itu dengan cepat kemarahan menyebar ke segala
arah. Api menghanguskan begitu banyak kendaraan dan gedung. Kelak Komnas HAM
mencatat lima orang pendukung Megawati tewas, 149 orang terluka dan 136 lainnya
ditahan. Namun para saksi berkeyakinan, yang mati mencapai puluhan orang, 300
lainnya luka parah. Seseorang yang diperbolehkan aparat menengok ke dalam
kantor PDI mengatakan, ia hanya melihat ceceran darah dan sehelai jaket
berlumur darah. “Hari ini kita menjadi saksi sejarah, kawan-kawan kita mati
mempertahankan gedung ini,” kalimat sedih itu diucapkan dengan gagah oleh
seorang anak muda yang berbandana merah putih di kepalanya.
Tapi benarkah hanya seonggok gedung
yang mereka pertahankan? Dan juga benarkah ‘hanya’
Megawati dan PDI yang mereka bela? Jika kita berdiri di sana saat
itu kita bisa menemukan jawabnya; tak hanya itu! Gedung Jalan Diponegoro 58,
tempat berhari-hari para disiden Orde Baru bermimbar bebas, sesungguhnya
hanyalah simbol dari kemerdekaan yang telah menahun diberangus. Sementara
Megawati ditempatkan sebagai titik simpul (interest confluence)
dari beragam pihak yang menentang watak adigung pemerintahan Soeharto.
Persengketaan
internal PDI yang merupakan akibat intervensi pemerintah menjadi ’ruang
bersama’ bagi banyak kekuatan kritis untuk melawan otoritarianisme Orde Baru.
Kita tahu, mereka yang berkumpul di Jalan Diponegoro dan juga yang menggemakan
protes di daerah-daerah tak hanya para partisan PDI, namun juga para aktivis
mahasiswa, pegiat ormas dan LSM. ”Penggusuran Megawati sama halnya dengan
pembunuhan demokrasi. Tanpa demokrasi, selamanya rakyat akan menjadi budak
kekuasaan,” begitulah sebuah media interaktif mencatat orasi seorang demonstran
di depan Megaria. Demokrasi, itulah sebagian alasan kenapa orang-orang itu
melawan represi fisik yang tak tertandingi oleh kekuatan raga mereka.
Lima belas
tahun berlalu, kita tak tahu, bagaimana makna persitiwa bagi para petinggi PDI
Perjuangan, metamorfosis PDI yang bangkit dari puing-puing 27 Juli. Mungkin
bagi mereka, peristiwa itu hanya menghasilkan seremonial berupa hening cipta.,
tanpa terbersit niatan untuk mengungkapnya sebagai pelajaran berpolitik yang
manifes. Dalam peringatan yang dilakukan 2008, tiga tahun lalu, Ribka Ciptaning
mengeluhkan sikap para petinggi partainya yang abai terhadap tragedi tersebut.
”Saya kecewa mereka melupakan peristiwa ini. Padahal tragedi inilah yang
membesarkan Mega dan partainya,” begitulah Ribka mengeluh.
Kini tak
terlihat lagi jejak penuntasan hukum untuk menguak tragedi ini, bahkan saat
Megawati masih berada di atas kursi presiden. Para elit militer yang
bertanggungjawab atas aksi kekejian tersebut kini masih leluasa dan terus
meretas jalan kembali ke altar kekuasaan. Barangkali, atas nama stabilitas
politik, mereka telah bersepakat untuk akur kembali dan menempatkan sejarah
buram itu menjadi bagian dari masa lalu. Dan peran rakyat hanyalah sebagai krocombelo
yang di-casting sebagai korban.
Hanya saja kita
pernah mendengar dari cendekiawan Ceko, Milan Kundera, perjuangan melawan
kekuasaan (yang dzalim) adalah perjuangan melawan lupa. Dan mereka yang
mengabaikan masa lalu, tulis filsuf George Santayana, akan dikutuk
mengulanginya. Dengan demikian mewujudkan harapan yang baik, harus dimulai
dengan menciptakan preseden pada masa sebelumnya. Yakni preseden bahwa seperti
apapun kejahatan, kapanpun terjadi dan siapapun pelakunya harus tetap ditimbang
oleh tangan hukum. Dengan begitu, kejahatan itu tak terulang lagi di masa
mendatang.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar